ANALISIS PENDEKATAN OBJEKTIF
DALAM NOVEL KUBAH
KARYA AHMAD TOHARI
Oleh
Jayanti Dwi Lestari
1.
Pendahuluan
Karya
sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, dikutip Rachmat Djoko
Pradopo 2007:107). Berarti karya sastra lahir dalam dari sejarah dan
sosial-budaya suatu bangsa yang dibuat oleh sastrawan yang menuliskannya
berdasarkan apa yang ada didalam kehidupannya di suatu masyarakat. Oleh karena
itu seorang sastrawan selalu melibatkan dan tidak terlepas dari latar sosial
budayanya. Dan kesemuanya itu terpancar dari setiap karya satra yang dibuatnya.
Namun
ada beberapa pemaknaan tentang karya sastra yang bisa dikatakan terlepas dari
kehidupan si pengarang. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2007:114-115), karya
sastra tidak lepas dari penulisnya. Penulis/Pengarang memberikan intensinya
dalam berkarya. Karya sastra merupakan luapan atau penjelmaan perasaan,
pikiran, dan pengalaman (dalam arti
luas) pengarangnya. Untuk itu bisa dikatakan bahwa karya sastra bisa dilakukan
dengan proses kreatif yang dimiliki seorang pengarang. Proses kreatif ini dapat
dijumpai pada suatu karya sastra rekaan seperti novel atau cerpen. Sehingga
banyak pemikiran-pemikiran baru tercipta yang dilakukan oleh pengarang. Hal itu
dapat dilihat dari bahasa yang digunakan dalam mengarang. Dan bahasa itu
terkadang memiliki pemaknaan yang tidak semua orang dan masyarakat sastra dapat
memaknainya. Tetapi tidak semua karya, ada beberapa karya sastra pemikiran baru
namun lebih mempermudah pembaca dalam memaknainya.
Dalam
memaknai suatu karya sastra seseorang biasanya melakukan suatu telaah terlebih
dahulu dengan memahami isi dari suatu karya sastra yang dibacanya. Dan
menganalisisnya dengan berbagai pendekatan-pendekatan yang dibawa oleh teori
Abrams. Salah satunya dalam analisis ini lebih ditekankan menggunakan teori Abrams
dengan pendekatan objektif. Pendekatan objektif adalah pendekatan yang
menitikberatkan pada karya itu sendiri (Abrams dikutip Partini Sardjono
Pradotokusumo 2005:63). Ada beberapa lagi tentang pengertian pendekatan
objektif, (Wiyatmi 2008:87) bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang
memfokuskan perhatian kepada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang
karya sastra sebagai stuktur yang terbebas hubungannya dengan realita, pengarang,
maupun pembaca. Wellek dan Warren juga menyebutkan pengertian pendekatan
objektif (Wiyatmi 2008:87) sebagai pendekatan intrinsik karena kajian
difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan,
koherensi, dan kebenaran sendiri (“dunia dalam kata”). Jika dikaitkan dengan
pengertian strukturalisme menurut Teeuw (dikutip Wiyatmi 2008:89) Struktural
memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur memandang dan memahami
karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom,
berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Dalam
penerapannya pendekatan ini memahami sastra secara close reading (membaca karya
secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungannya dengan realitas, maupun
pembaca). Analisis difokuskan pada unsur-unsur instrinsik karya sastra. Maka
strukturalisme tergolong pendekatan objektif, struktural adalah perkembangan
dari pendekatan objektif yakni keduanya hanya mengkaji karya sastra itu sendiri
yaitu unsur pembangun karya sastra (unsur-unsur intrinsik).
Dengan
keterkaitan tersebut dalam menganalisis novel berjudul Kubah karya Ahmad Tohari dengan pendekatan objektif dibutuhkan
strukturalisme, unsur pembangun dalam sebuah karya sastra. Unsur pembangun
karya sastra terdapat dalam unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan,
alur, latar/setting, sudut pandang, gaya bahasa, amanat. Untuk menganalisis
novel Kubah karya Ahmad Tohari pada
aspek latar maka dilakukan penjelasan mengenai unsur latar/setting agar lebih
detailnya. Latar/setting meliputi latar tempat, latar suasana, dan latar waktu.
Menurut
W.H. Hudson menyatakan bahwa setting (latar) adalah keseluruhan lingkungan
cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan
dan pandangan hidup tokoh (1960:158 dalam herman J. Waluyo 2001:198).
Menurut Robert Starto menyatakan bahwa setting (latar) adalah lingkungan
kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu berlangsung (1965:18-19 dalam
herman J. Waluyo 2001:198). Dan Hudson menyebutkan lingkuangan alam sebagai
setting material dan yang lain sebagai setting sosial (1958:158).
Setting
(latar) berfungsi memperkuat pematutan dan faktor penentu bagi kekuatan plot
(alur), begitu yang dikatakan Marjeric Henshaw (1966:15). Sementara itu, Abrams
membatasi setting sebagai tempat terjadinya peristiwa dalam cerita itu
(1966:15). Dalam setting, menurut Harvey faktor waktu lebih fungsional dari
pada faktor alam (1965:304). Wellek mengatakan bahwa setting berfungsi untuk
mengungkapkan perwatakan dan kemampuan yang berhubungan dengan alam dan manusia
(1962:220-1). Setting dapat membangun suasana cerita yang menyakinkan. Menurut
Montaque dan Henshaw menyatakan 3 fungsi setting, yakni:
1.
Mempertegas watak para pelaku;
2.
Memberikan tekanan pada tema cerita.
3. Memperjelas
tema yang disampaikan.
Jadi,
setting atau latar berkaitan dengan waktu dan tempat dalam penceritaan, maupun
suasana. Latar waktu merupakan latar yang menggambarkan kapan sebuah peristiwa
itu terjadi seperti siang atau malam, tanggal, bulan, dan tahun, dan dapat juga
berarti lama berlangsungnya cerita. Latar cerita adalah latar yang
menggambarkan tempat/lokasi berlangsungnya peristiwa yang terjadi dalam cerita.
Tempat cerita dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa, atau di kota,
dapat bererti di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Latar suasana
berkaitan dengan keadaan yang timbul dengan sendirinya bersamaan dengan jalan
cerita, dan adanya latar suasana yang berlangsung membuat suatu cerita lebih
menarik. Latar suasana seperti suasana sedih, tenang, marah, penuh semangat,
gembira. Sehingga ketiga unsur latar/setting
diatas tidak dapat dipisahkan.
Berkaitan
dengan hal tersebut, sebelum mengetahui latar/setting dalam novel dilakukan
pemaparan dahulu mengenai ringkasan dari isi novel yang akan dianalisis.
Berikut ringkasan novel Kubah karya
Ahmad Tohari yang menceritakan tentang kehidupan seorang tokoh bernama Karman yang
mengulas sebelum dan sesudahnya dia terbebas dari tahanan karena
keterlibatannya dalam kasus politik sebagai pengikut paham komunis.
Sebelumnya
Karman adalah sosok yang dikenal sebagai orang yang cerdas dari desa Pegaten.
Semasa kecilnya ia hidup susah, hidup tanpa bapak dan harus bekerja menjadi
pembantu dan pengasuh anak Haji Bakir, tetangganya, orang terkaya dan
terpandang di desa Pegaten. Dia hanya menamatkan pendidikannya sampai SMP
dengan bantuan pamannya. Karena tidak bisa melanjutkan sekolah, akhirnya dia
harus bekerja dengan termakan bujuk rayu kawannya Margo untuk bergabung dengan
partai komunisnya sebagai sekretaris. Dia dibekali paham ajaran partai itu seperti
antara lain meninggalkan kebiasaan sholat, dan disinggungnya perbedaan antara
kaya dan miskin. Paham tersebut ia terapkan dalam kehidupannya. Hingga membuat
banyak para orang-orang di masyarakat Pegaten resah. Seperti gambaran sejarah,
pada tahun 1965 merupakan akhir dari komunis di Indonesia, Para pengikut partai
tersebut dibabat habis dengan hukuman mati. Kecuali Karman dia ketakutan dan
kabur mencari perlindungan, hidup di hutan, di kuburan hingga akhirnya
tertangkap setelah menderita gizi buruk. Diasingkan di tahan di pulai B selama
12 tahun. Sesudah dia dibebaskan dari tahanan dia berpikir masih layakkah dia
dan diterimakah dia oleh masyarakat kampung Pegaten. Jawaban dari pikirannya
itupun terjawab setelah dia memberanikan diri untuk kembali ke kampungnya dengan
anak perempuannya yang bersedia menjemput dan mengantar Karman ke rumah ibunya
atas perintah bekas istri Karman yang telah menikah lagi dengan teman Karman
saat Karman berada di .dalam tahanan. Semua orang di masyarakat Pegaten sama
sekali tidak membenci Karman. Padahal Karman pernah melakukan perbuatan tercela
selama ia menjadi pengikut paham komunis. Banyak orang berdatangan begitu pula
mantan Istri Karman. Di akhir cerita, Karman telah mampu berbaur dengan warga
kampungnya. Dan suatu ketika, masjid di kampungnya akan direnovasi. Karman pun
tidak tinggal diam. Dia juga ikut membuatkan kubah masjid. Dan Karman tidak
mengharapkan upah dari hasil kerjanya itu. Kubah itu terlihat sangat bagus.
Banyak orang memujinya. Akan tetapi bukan pujian semata yang berharga bagi
Karman, yang berharga adalah kebahagiaan yang kini dirasakannya. Kebahagiaan
dimana ia diterima oleh masyarakat bukan pengucilan yang selama ini ada
difikirannya.
2.
Unsur
latar/setting dalam Kubah
Kubah menceritakan
kisah seorang tokoh utama bernama Karman yang pernah menjadi tahanan di pulau B
atau tepatnya di Markas Komando Distrik Militer karena keterlibatan dia dalam
kasus politik penganut paham komunis. Setelah menjadi tahanan selama 12 tahun
tentu tidak mudah bagi sosok Karman untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya
dan kembalinya dia ke desa Pegaten kampungnya. Selama perjalanan Karman dari
terlepasnya tahanan, sampai dicerita beralur mundurnya isi novel yang
menceritakan kehidupan masa lalunya hingga terlibat dia dalam kasus politik,
dan kehidupan setelah akhir dari tahanan. Karman telah melalui banyak
latar/setting. Baik itu latar/setting tempat, waktu hingga suasana telah
tergambarkan didalamnya. Berikut gambaran latar/setting yang lebih lanjut dapat
dilihat melalui analisis latar/setting dalam strukturalisme yang merupakan
perkembangan dari pendekatan objektif.
a.
Latar/setting
tempat
1.
Tempat yang menjadi latar dalam novel ini pertama adalah desa Pegaten. Desa
Pegaten adalah desa tempat Karman dilahirkan dan dibesarkan sebelum Karman
diasingkan ke pulau B dan kembali lagi ke kampungnya desa Pegaten. Hal tersebut
dapat dibuktikan melalui terlalu seringnya penyinggungan mengenai desa Pegaten.
Berikut kutipan sebagai bukti latar/setting tempat di desa Pegaten.
Desa Pegaten yang kecil
itu dibatasi oleh Kali Mundu di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai itu
berwarna kuning tanah. Tetapi pada hari-hari biasa air di Kali Mundu bening dan
sejuk. Di musim kemarau Kali Mundu berubah menjadi selokan besar penuh pasir
dan batu. Orang-orang Pegaten yang memerlukan air, cukup menggali belik di
tengah hamparan pasir. Ceruk yang dangkal itu akan mengeluarkan air minum yang
jernih (Ahmad Tohari, 2005:36).
Tetapi wajah
orang-orang Pegaten yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah, membuat
Karman merasa sangat bahagia (Ahmad Tohari, 2005:189).
2.
Gedung Markas Komando Distrik Militer.
Berikut kutipan pembuktiaannya.
Sampai di dekat pintu
keluar, Karman kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri dan kanan seakan ia
merasa sedang ditonton oleh seribu pasang mata. Akhirnya, dengan kaki gemetar
ia melangkah menuruni gedung Markas Komando Distrik Militer itu (Ahmad Tohari,
2005:7).
3.
Di pinggir jalan. Kutipan paragraf
pembuktiannya.
Dari jauh Karman
melihat lapisan aspal jalan raya memantulkan fatamorgana. Atap seng gedung
olahraga di seberang jalan itu berbinar karena terpanggang panas matahari (Ahmad
Tohari, 2005:8).
4.
Alun-alun Kabupaten. Pembuktiannya pada
kutipan berikut.
Dan tak lama kemudian
lelaki berusia 42 tahun itu mendapatkan apa yang diinginkannya, sebuah tempat
yang enak untuk duduk, di bawah pohon beringin alun-alun Kabupaten(Ahmad
Tohari, 2005:11).
5.
Pulau B. Dalam kutipan berikut.
Debu mengepul mengikuti
langkah-langkah lelaki yang baru datang dari Pulau B itu (Ahmad Tohari,
2005:8).
Menjelaskan
bahwa Lelaki adalah Karman dari Pulau B dia ditahan tepatnya di
Markas
Komando Distrik Militer. Yang dijelaskan diatas pula sebelumnya dalam
cerita
sebelum menyinggung pulau B. Bahwa Karman baru keluar dari tempat
tersebut.
b.
Latar/setting
waktu
1. Latar
waktu yang pertama terjadi pada Oktober 1965 dan terjadi kegegeran. Hal
tersebut dalam dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut ini.
Geger
Oktober 1965 sudah dilupakan orang, juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai
sangkutpaut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah
menjadi warga masyarakat yang taat. Tampaknya mereka ingin disebut sebagai
orang yang sungguh-sungguh menyesal karena telah menyebabkan guncangan besar di
tengah kehidupan masyarakat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang
paling dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat mendatangkan rasa
bersahabat di antara sesama warga desa Pegaten (Ahmad Tohari, 2005:36).
2. Selanjutnya
pada tahun ajaran baru 1950. Pembuktian kutipannya sebagai berikut.
Karman merasa menjadi anak yang paling
berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baru tahun 1950, Karman sudah
menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Karman
menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat
menengah (Ahmad Tohari, 2005:74).
3. Latar
waktu berikutnya pada awal tahun enam puluhan. Dapat dibuktikan dalam kutipan
paragraf dibawah ini.
Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun
enam puluhan, sama seperti yang terjadi di mana-mana. Boleh jadi orang tidak
senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan hidup yang terjadi waktu itu
(Ahmad Tohari, 2005:132).
4. Latar
waktu selanjutnya terjadi pada bulan Agustus 1977. Buktinya terdapat pada
kutipan paragraf dibawah ini.
Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga
pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan
walaupun sebentar Cukuplah untuk melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah
berwarna cokelat kembali setelah beberapa memutih tiada kandungan air (Ahmad
Tohari, 2005:167).
5. Siang
hari. Terdapat pada kutipan dibawah ini.
Terik matahari langsung
menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka di halaman gedung.
Panas. Rumput dan tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak
daun dan rantingnya yang kering dan mati. Debu mengepul mengikuti
langkah-langkah lelaki yang baru datang dari Pulau B itu (Ahmad Tohari,
2005:8).
Dalam
pembuktian dapat dijelaskan dan ditekankan kembali pada kalimat :
·
Terik matahari........
·
Panas. Rumput dan tanaman hias yang tak
terawat tampak kusam dan layu.
Banyak
daun dan rantingnya yang kering dan mati. Debu mengepul.......
Jadi,
Terik matahari.... dan Panas.
Rumput........ menandakan keadaan siang hari.
6.
Dua belas tahun Karman ditahan. Dalam
kutipan berikut.
Karman belum terbuang
selama selama dua belas tahun di Pulau B (Ahmad Tohari, 2005:8).
Artinya
selama dua belas tahun Karman di
tahan di Pulau B.
c.
Latar/setting
suasana
1. Latar
suasana gembira dan bercampur kepedihan. Terjadi ketika Karman mengirimkan
surat kepada Karman, saat Karman berada di Pulau B. Berikut kutipan
pembuktiannya.
Waktu menerima surat Marni itu di Pulau
B mula-mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang terpisah ribuan
kilometer adalah sesuatu yang tak ternilai harganya bagi seorang suami yang
sedang jauh terbuang. Sebelum membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman
lekuk sudut bibir Marni yang bagus: suaranya yang lembut, atau segala tingkah
lakunya yang membuktikan Marni adalah perempuan yang bisa jadi penyejuk suami.
Tetapi selesai membaca surat itu Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang
datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan mendadak tergelar di hadapannya.
Padang yang sangat mengerikan, asing, dan karman merasa tegak seorang diri.
Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh
(Ahmad Tohari, 2005:14).
Dalam
pembuktian latar/setting suasana gembira dan bercampur kepedihan dapat
dijelaskan
dan ditekankan kembali pada kalimat :
Gembira
: Waktu menerima surat Marni itu di Pulau B mula-mula Karman
merasa
sangat gembira.
Kepedihan : Tetapi
selesai membaca surat itu Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar
yang kerontang dan penuh kerikil seakan mendadak tergelar di hadapannya. Padang
yang sangat mengerikan, asing, dan karman merasa tegak seorang diri.
Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh.
Jadi, kata gembira dan mendadak merasa sulit bernapas, terguncang keras, semangat
hidupnya nyaris runtuh menandai tergambar suasana gembira dan bercampur
kesedihan.
2. Latar
suasana hening dan haru, disaat pertemuan Karman dan anaknya bernama Rudio di
rumah Gono. Berikut kutipan mengenai hal tersebut.
Kemudian atas nama
nalurinya, anak remaja itu berkata ragu-ragu, “Ayah...?”
Sepi.
Karman menelan ludah,
menelan kembali perasaannya yang tiba-tiba akan meledak. Air matanya meleleh.
“Ya, Nak. Aku Ayah!”
Hening lagi. Ayah dan
anak yang jumpa setelah belasan tahun terpisah jauh itu tidak berpelukan (Ahmad
Tohari, 2005:33).
Dalam
pembuktian latar/setting suasana hening dan haru dapat dijelaskan dan
ditekankan
kembali pada kalimat :
Hening
: Hening lagi. Ayah dan anak yang jumpa setelah belasan tahun terpisah
jauh
itu tidak berpelukan
Haru
: Karman menelan ludah, menelan kembali perasaannya yang tiba-tiba akan
meledak.
Air matanya meleleh.
Jadi,
kata hening dan perasaannya yang tiba-tiba akan meledak, air matanya
meleleh
menandakan suasana hening dan haru.
3. Latar
suasana berikutnya adalah mendebarkan atau menegangkan, yang tergambar dalam
kutipan paragraf berikut.
Kambing Pohing tidak bertahan lama.
Kibas berbulu itu lari. Kambing Haji Bakir penasaran, lalu mengamuk. Matanya
jalang. Tiba-tiba ia mengambil ancang-ancang hendak menyerang seorang gadis
kecil yang berbaju putih. Mungkin binatang itu mengira Rifah adalah lawannya
yang telah lari. Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru.
Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat Karman
terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu. Tapi Karman bertahan sampai
beberapa orang dewasa bertindak. Rifah masih menggigil ketakutan ketika
diangkat oleh Haji Bakir (Ahmad Tohari, 2005:61-62).
Dalam
pembuktian latar/setting suasana mendebarkan atau menegangkan dapat
dijelaskan
dan ditekankan kembali pada kalimat :
Karman
maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru. Menegangkan
pada kata menjerit. Kemudian Karena tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan
binatang yang marah itu. Menegangkan pada kata terayun-ayun oleh empasan. Dan pada Rifah masih menggigil ketakutan
ketika diangkat oleh Haji Bakir. Menegangkan pada kata menggigil.
4. Selanjutnya
latar suasana menyeramkan terdapat pada perbincangan Karman dengan Kastagethek
dalam cerita. Berikut kutipan perbincangan keduanya beserta paragraf yang
menceritakan latar suasana.
“Itu terserah pada sampeyan. Yang jelas
kemarin malam saya melihatnya. Kemarin ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari
air dan mendarat di rakit ini. Saya kira ikan gabus karena ikan itu memang
biasa melompat-lompat seperti itu. Eh, Pak Karman ingin tahu ternyata apa?”
“Apa?”
“Potongan kaki manusia. Darah masih
menetes pada bekas potongannya.”
Ketika menceritakan pengalaman itu Kasta
tampak tetap tenang, amat tenang. Tetapi Karman mengerutkan kening. Ketakutan
muncul jelas pada layar wajahnya (Ahmad Tohari, 2005:156).
Dalam
pembuktian latar/setting suasana menyeramkan dapat dijelaskan dan
ditekankan kembali pada
kata ketakutan karena adanya
perkataan Kastagethek yang menceritakan keadaan suasana kemarin malam yaitu
potongan kaki manusia dan darah yang masih menetes pada bekas potongannya.
5. Berikutnya
latar suasana mengharukan. Tergambar dari cuplikan paragraf pertemuan antara
Marni dan Karman yang membuat suasana menjadi mengharukan terdapat pada isakan
tangis para perempuan-perempuan dalam cerita novel tersebut. Dibawah cuplikan
bukti latar suasana mengharukan tersebut.
Orang tak usah mncari kata-kata yang
berlebihan, karena yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa.
Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu.
Dan suasana yang mendadak bisu tetapi penuh haru-biru (Ahmad Tohari, 2005:175).
Dalam pembuktian
latar/setting suasana mengharukan dapat dijelaskan dan ditekankan kembali pada menahan isak dan haru-biru.
6. Latar
suasana bahagia. Terdapat pada kutipan dibawah ini.
Tetapi
wajah orang-orang Pegaten yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah,
membuat Karman merasa sangat bahagia (Ahmad Tohari, 2005:189).
Dalam
pembuktian latar/setting suasana bahagia dapat dijelaskan dan ditekankan
kembali
pada kalimat Karman merasa sangat bahagia.
3.
Kesimpulan
Tokoh
utama Karman yang dihadirkan Ahmad Tohari melalui struktur latar/setting
kehidupannya dapat terinci dalam ulasan berikut ini.
Diawali
dari masa kecil hingga dia mencapai dewasa ia hidup di desa Pegaten. Kemudian
beranjak dewasa Karman mulai terpengaruh oleh paham komunis. Hal tersebut
membuat Karman harus ditahan di Pulau B tepatnya di Markas Komando Distrik
Militer selama dua belas tahun dengan. Selama dua belas tahun suasana gembira
dan bercampur kepedihan dirasakan oleh tokoh Karman ditahanan dalam konteks
pengiriman surat dan isi surat yang menyayat hati Karman. Setelah mengalami dua
belas tahun ditahanan Karman dapat bebas. Setelah bebas akhirnya sosok tokoh Karman
dapat diterima kembali oleh masyarakat desa Pegaten dengan suasana gembira
ditandai dengan terbebasnya dia dari rasa pengucilan yang selama ini ada
difikirannya.
Daftar
Pustaka
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradotokusumo,
Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiyatmi.
2008. Pengantar Kajian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka.
Waluyo,
Herman J. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan.
Salatiga: Widya Sari Press Salatiga.
Tohari,
Ahmad. 2005. Kubah. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar