ANALISIS
PUISI DUH GUSTI
KARYA
NUNING DAMAYANTI
BERDASARKAN
STRATA NORMA ROMAN INGARDEN
Oleh
Jayanti
Dwi Lestari
14311041
1. Pendahuluan
Dalam pembelajaran
bahasa Indonesia khususnya pembelajaran teori sastra dan orang-orang yang
bergulat dalam bidang sastra tentulah mereka tidak terlepas dari kata sastra.
Kata sastra sendiri jika ditelaah memilki berbagai pengertian yang
bermacam-macam. Para ahli ataupun sumber-sumber buku tertentu telah
mendefinisikan sastra dengan pengertian dan pemahaman yang berbeda-beda. Dengan
adanya perbedaaan tersebut dapat dikatakan sangatlah wajar karena pada
hakikatnya setiap manusia pasti memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai
suatu hal, termasuk bagaimana pengertian sastra mulai bermunculan pada setiap
kalangan manusia sastra.
Sastra
(Sansekerta/Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta, sastra, yang berarti “teks yang
mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia
kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu (Redaksi Pustaka Makmur,
2012: 2).
Dan sejalan
dengan pemikiran itu, sastra menurut Danziger dan Johnson (dalam Melani, Ida,
Manneke, Ibnu 2003: 7) sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sedangkan, sastra menurut Daiches (dalam
Melani, Ida, Manneke, Ibnu 2003: 7-8) mengacu pada Aristoteles memandang bahwa
sastra sebagai suatu karya sastra yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan
yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain”, yakni suatu cara yang
memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan
pembacanya.
Berdasarkan berbagai
pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra ialah tulisan yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memiliki arti atau keindahan tertentu
untuk menyampaikan suatu karya sastra dengan cara memberikan kenikmatan unik
dan pengetahuan serta memperkaya wawasan pembacanya.
Secara
konvensional, sastra terdiri atas tiga genre, yakni puisi, prosa, dan drama. Puisi
(poetry) merupakan ragam sastra yang terikat oleh unsur-unsurnya, seperti
irama, rima, matra, baris, dan bait (Yusuf, 1995: 225, dalam Maman Suryaman dan
Wiyatmi, 2012: 12). Prosa adalah sebuah teks atau karya rekaan yang tidak
berbentuk dialog yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sederetan
peristiwa (Melani, Ida, Manneke, Ibnu, 2003: 77). Sedangkan, drama merupakan
sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal
adanya dialogue atau percakapan diantara tokoh-tokoh yang ada. Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu,
lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk
pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa
yang dilakukan oleh tokoh (Pollock, Sir John 1958, dalam Melani, Ida, Manneke,
Ibnu, 2003: 95).
Jadi dapat
dikatakan bahwasanya genre sastra terdiri dari tiga bagian, yaitu: puisi,
prosa, dan drama. Puisi adalah ragam sastra yang terikat oleh unsur-unsur,
prosa adalah teks atau karya rekaan yang tidak berbentuk dialog yang isinya
dapat merupakan kisah sejarah atau sederetan peristiwa, dan drama adalah sebuah
genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan adanya percakapan diantara
tokoh-tokoh yang ada dan memperlihatkan semacam pemanggungan yang juga
menggambarkan tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
yang ada.
Berkaitan dengan
permasalahan analisis puisi yang akan dibahas, maka dalam hal ini genre sastra
yang akan dijadikan objek kajian analisis adalah puisi. Puisi (sajak) merupakan
sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga
dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Analisis yang
bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi
gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (Wellek dan Warren, 1968:140 dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14).
Untuk
menganalisis puisi setepat-tepatnya perlulah diketahui apakah sesungguhnya
(wujud) puisi itu. Dikemukakan oleh Wellek (1968:150 dalam Rachmat Djoko
Pradopo, 1993:14) bahwa puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya
pengalaman. Setiap pengalaman individual itu sebenarnya hanya sebagian saja
dapat melaksanakan puisi. Karena itu, puisi (sajak) sesungguhnya harus
dimengerti sebagai struktur norma-norma. Pengertian norma ini menurut Wellek, Rene
(1968:150-151 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14) jangan dikacaukan dengan
norma-norma klasik, etika, maupun politik. Norma itu harus dipahami sebagai
norma implisit yang harus ditarik dari setiap penagalaman individu karya sastra
dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan.
Karya sastra itu
tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata
(lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Wellek, Rene
(1968:151 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14) mengemukakan analisis Roman
Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk
(1931) ia menganalisis norma-norma itu sebagai berikut.
Lapis norma
pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang
terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang,
dan panjang. Tetapi, suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai
dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan
adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, lapis bunyi itu
menjadi dasar timbulnya kedua, yaitu lapis arti.
Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian
kalimat menjadi alinea, bab dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak.
Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar,
pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita
atau lukisan.
Roman Ingarden
masih menambahkan dua lapis norma lagi yang sesungguhnya menurut Wellek (dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14-15) dapat dimasukkan dalam lapis yang ketiga.
Lapis tersebut sebagai berikut.
a.
Lapis “dunia” yang dipandang dari titik
pandang tertentu yang tak dapat dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra
dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa
yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek “luar” atau
“dalam” watak. Misalnya pintu berbunyi halus dapat memberi sugesti wanita atau
watak dalam si pembuka itu hati-hati. Keadaan suatu kamar yang terlihat dapat
memberi sugesti watak orang yang tinggal didalamnya.
b.
Lapis metafisis, berupa sifat-sifat
metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang
suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan (kontemplasi)
kepada pembaca. Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis
metafisis seperti itu.
Maka dapat
disimpulkan bahwa dalam menganalisis puisi bukan hanya sekedar menganalisis
secara dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi. Karena dengan mengunakan
hal tersebut masih belum bisa memberikan gambaran yang nyata serta tidak
memuaskan. Sehingga, diperlukan pula untuk mengetahui (wujud) puisi yang akan
dianalisis. Namun, sejalan dengan hal itu dengan adanya puisi tentu akan
memungkinkan timbulnya pengalaman. Dan pengalaman tersebut membawa diri untuk
mengetahui struktur norma-norma dalam puisi untuk dipahami dengan pemaknaan
tersendiri akan suatu karya sastra murni. Oleh karena itu dalam menganalisis
puisi diperlukan teori analisis strata norma Roman Ingarden yang telah
diuraikan diatas yakni, menganalisis dengan mencari pemaknaan melalui lapis bunyi,
arti, dunia, dan metafisis.
2. Strata Norma dalam Duh Gusti
Untuk lebih menjelaskan analisis strata norma
tersebut maka dalam analisis puisi Duh Gusti karya Nuning Damayanti menggunakan
analisis strata norma yang meliputi 4 lapis, yaitu lapis suara/bunyi, lapis
arti (keseluruhan) dan lapis ketiga atau satuan arti perkata yang memiliki
(objek, latar, dan dunia pengarang), lapis keempat atau lapis dunia, dan lapis
kelima atau lapis metafisis. Didalam analisis puisi disertai pula sumber-sumber
yang memperkuat penjelasan mengenai uraian dari pemaknaan puisi Duh Gusti berdasarkan
analisis strata norma. Untuk lebih jelasnya berikut uraian rincian detail
analisis strata norma dalam Duh Gusti.
a.
Lapis
Suara/Bunyi
Dalam Duh Gusti bila dianalisis bunyinya pada bait
pertama terdapat aliterasi bunyi konsonan n:
tak ada lagi bengawan sumber kehidupan-semua jadi comberan. Pada bait kedua terdapat aliterasi n dan g: aku melihat padang yang kerontang-dan ilalang meng-arang. Pada bait ketiga terdapat asonansi u: membatu-membeku. Pada bait
keempat terdapat asonansi u: masa
kecilku-kerabatku-tetanggaku. Jika
dianalisis maka bunyi asonansi dan aliterasi yang terdapat dalam puisi memiliki
fungsi sebagai lambang rasa dan kereligiolitas.
Dimaksudkan demikian, karena jika ditelaah lebih
lanjut Duh Gusti mengandung makna bahwasanya si aku mengeluarkan curahan
hatinya dalam artian mengeluhkan dalam doa’nya serta perasaannya yang tengah
terjadi perubahan-perubahan yang pada sekeliling kehidupan si aku. Perlu
diketahui bahwa karya satra puisi Duh Gusti merupakan puisi yang bersastra
religiolitas yakni, mengandung makna kereligiolitas. Dimana religiolitas lebih
memperlihatkan aspek yang ada didalam lubuk hati, riak getaran hati nurani
pribadi ... (Y. B. Mangunwijaya, 1998:12). Maka, kereligiolitasnya yang tampak
dalam puisi Duh gusti terlihat pada penyebutan Duh Gusti yang seringkali diucap
si aku yang dapat diartikan ungkapan rasa isi hati si aku yang dia haturkan
terhadap Tuhan. Jadi, kesimpulannya fungsi dan makna puisi Duh Gusti sebagai
lambang rasa religiolitas.
b.
Lapis
Arti
Puisi Duh Gusti
bila dianalisis dan ditinjau melalui lapis arti adalah sebagai berikut. Pada
bait pertama: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan saat melihat
lingkungan disekitar sungai airnya sudah keruh dan banyak ikan-ikan yang mati,
sumber air yang tadinya dijadikan sumber kehidupan sudah kotor seperti air
comberan.
Dalam bait
kedua: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan saat melihat
lahan atau tanah lapang yang sudah tidak ditumbuhi apa-apa dan rumput ilalang
yang mati. Padahal sebelumnya lahan tersebut pernah ditumbuhi oleh rumput-rumput
layaknya sabana (padang rumput yang luas). Namun, rumput-rumput itu kini tidak
lagi tumbuh dilahan tersebut.
Dalam bait
ketiga: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan saat melihat sawah
yang mengering dan tanah dalam ladang yang mulai bongkah. Lalu, pematang sawah
yang biasanya digunakan untuk berjalan dipinggiran sawah harus mengeras dan
semuanya nampak seperti batu yang kasar dan tajam.
Dalam bait
keempat: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan tentang dia telah
kehilangan masa-masanya yang dulu saat dia masih kecil, merasa kehilangan
saudaranya, tetangganya. Dan rasa persaudaraan antara si aku dengan semua orang
yang telah disebutkan sebelumnya, semuanya itu seakan sirna dan asing bagi si
aku.
Dari keseluruhan
uraian pemaknaan arti dari puisi Duh Gusti diatas dapat disimpulkan bahwa pusi
Duh Gusti menggambarkan tentang kereligiolitas. Selain, lebih memperlihatkan
aspek yang ada didalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi yang tampak
dalam sarana do’a akan curahan hatinya. Puisi tersebut juga menggambarkan
adanya sedikit rasa keluhan akan kehidupan si aku yang sedang dihadapinya. Dia
seolah-olah sendiri karena para saudaranya dan tetangganya tidak menampakkan
adanya persaudaraan. Dan puisi yang mengandung religiolitas dapat menutun
manusia ke arah segala makna yang baik (Y. B. Mangunwijaya, 1998:16). Dapat
dikatakan menuntun manusia kearah yang lebih baik, karena seolah-olah si aku
dalam puisi merasakan tidak adanya rasa persaudaraan dan secara implisit juga
mengandung pesan akan pentingnya rasa persaudaraan. Jika tidak maka seseorang
akan merasakan kesedihan, kesendirian seperti apa yang dirasakan oleh si aku
dalam puisi Duh Gusti.
c.
Lapis
Ketiga
Dalam Duh Gusti
terdapat objek-objek yang dikemukakan seperti: sungai, tanah lapang, sawah, dan
keadaan sosial lingkungan sekitar.
Pelaku atau
tokohnya adalah: si aku (pengarang). Latar tempat yaitu: di keberadaan si aku sedang
berdo’a kepada Tuhan/Duh Gusti.
Dari segi dunia
pengarang, dapat dilihat bahwa si aku sedang berdo’a kepada Tuhan dikala dia
melihat kondisi alam dan kondisi sosial pada lingkungannya telah mengalami
perubahan.
Dari serangkaian
penjelasan lapis ketiga mengenai lapis satuan arti dapat disimpulkan pelaku si
aku menggunakan kondisi alam seperti sungai, tanah lapang, dan sawah serta
kondisi lingkungannya sebagai objek yang diuraikan dalam puisinya, dimana si
aku sedang berdo’a pada Tuhan yang mana objek-objek tersebut ia keluhkan telah
mengalami perubahan-perubahan sehingga menimbulkan rasa kesedihan dan
kesendirian si aku.
d.
Lapis
Keempat
Dipandang dari sudut pandang tertentu keadaan
lingkungan alam itu rusak serta lingkungan sosial yang kurang bersahabat, keadaaan
lingkungan alam yang mengambarkan rusak kelihatan dari kata-kata: sungai yang
tak lagi bening pada bait pertama, tak ada lagi sabana tempat merumput pada
bait kedua, dan sawah yang mengering pada bait ketiga. Keadaan lingkungan
sosial yang kurang bersahabat kelihatan dari kata-kata: tak ada lagi salam
silaturahmi pada bait keempat. Pada keseluruhan bait menggambarkan suasana
menyedihkan dan si aku berdo’a terhadap Tuhan dengan mengeluhkan keadaan saat
ini lingkungan alam dan sosial telah mengalami perubahan yang menurun.
Dan keseluruhan bait menyatakan gambaran segalanya
berjalan kearah penurunan. Tergambar dari kondisi alam dan sosial sekitar yang
dialami si aku yang mengarah kearah jauh lebih buruk dibandingkan masa-masa
ketika si aku masih kecil, masa-masa yang sudah tidak dilihat oleh si aku.
Selain itu juga menggambarkan rasa kesendirian dimana si aku merasa asing
karena rasa diwaktu masa kecilnya mulai hilang dimana persaudaraan antar
saudara dan tetangganya yang mulai hilang.
Dari uraian lapis ketiga atau lapis dunia, dapat
disimpulkan bahwa dalam puisi Duh Gusti menggambarkan suasana keadaan
lingkungan alam yang rusak dan lingkungan sosial yang kurang bersahabat,
suasana yang menyedihkan, segalanya berjalan kearah penurunan, dan
menggambarkan rasa kesendirian yang dialami si aku.
e.
Lapis
Kelima
Dalam sajak ini lapis itu berupa rasa menyedihkan
bercampur sakral/suci kereligiolitas. Dengan sifat-sifat ini, seni disini menggugah rasa iba dan perubahan kearah lebih
baik didalam diri pembaca. Keadaan terlihat melalui gambaran mengenai kesedihan
dan keluhan si aku melalui do’a akan curahan hatinya. Dimana si aku merasa
keadaan lingkungan yang semakin rusak, persaudaraan terhadap lingkungannya baik
itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang berada disekelilingnya mulai
hilang. Sehingga menimbulkan kesan bahwasanya rasa persaudaraan harus
senantiasa dijaga antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan
alamnya. Agar tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan pada lingkungan alam dan
sosial kita.
Religiolitas disini dapat diuraikan kembali seperti
yang dijelaskan pada subbab sebelumnya kereligiolitas tampak dalam puisi yang
mengandung religiolitas yakni, menutun manusia ke arah segala makna yang baik. Sehubungan
dengan penjelasan diatas telah disinggung bahwasanya puisi Duh Gusti bisa
mengarahkan kearah yang lebih baik. Sehingga dapat disimpulkan puisi Duh gusti
masih membawa unsur religiolitas dalam pemaknaan metafisisnya. Dari serangkaian
uraian mengenai analisa lapisan metafisis puisi Duh Gusti dapat disimpulkan Duh
gusti mengandung unsur rasa menyedihkan bercampur sakral/suci kereligiolitas.
3. Kesimpulan
Puisi Duh Gusti
pada analisa lapis bunyi suara/bunyi telah memiliki asonansi dan aliterasi pada
setiap baitnya serta memiliki fungsi dan makna puisi sebagai lambang rasa
religiolitas. Pada lapis artinya menggambarkan tentang kereligiolitas (menuntun
manusia kearah yang lebih baik) dan lapisan satuan pada dasarnya telah dijumpai
objek berupa sungai, tanah lapang, sawah, dan keadaan sosial lingkungan sekitar,
pelaku yaitu si aku atau pengarang, latar tempat yaitu: di keberadaan si aku
sedang berdo’a kepada Tuhan/Duh Gusti dan dunia pengarang: si aku sedang
berdo’a kepada Tuhan dikala dia melihat kondisi alam dan kondisi sosial pada
lingkungannya telah mengalami perubahan. Hanya saja latar waktu dalam Duh Gusti
tidak tergambar didalamnya. Kemudian, pada lapis dunianya telah menggambarkan
suasana keadaan lingkungan alam yang rusak dan lingkungan sosial yang kurang
bersahabat, suasana yang menyedihkan, segalanya berjalan kearah penurunan, dan
menggambarkan rasa kesendirian yang dialami si aku. Dan pada lapis metafisisnya
mengandung unsur rasa menyedihkan bercampur sakral/suci kereligiolitas.
Daftar Pustaka
Rachmat
Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Y.
B. Mangunwijaya. 1998. Sastra dan Religiositas.
Yogyakarta: Kanisius.
Melani
Budianta, Ida Sundari Husen, Manneke Budiman, dan Ibnu Wahyudi. 2003. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra
Untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
Maman
Suryaman dan Wiyatmi. 2012. Puisi
Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Eriyanti
Nurmala Dewi, dkk. 2003. Bunga Yang
Berserak Antologi puisi dan cerita pendek 1989-2002. Bandung: Angkasa.
Redaksi
Pustaka Makmur. 2012. Sastra Indonesia
Paling Lengkap. Depok: Pustaka Makmur.
Duh
Gusti
Karya
Nuning Damayanti
Duh
Gusti
Aku
melihat sungai yang tak lagi bening
dan
ikan-ikan membiru
Tak
ada lagi bengawan sumber kehidupan
Semua
jadi comberan
Duh
gusti
Aku
melihat padang yang kerontang
dan
ilalang meng-arang
Tak
ada lagi sabana tempat merumput
Semua
sudah jadi padang bebatuan
Duh
gusti
Aku
melihat sawah yang mengering
dan
ladang yang membatu
Tak
ada lagi pematang tempat menapak
Semua
jadi beton-beton membeku
Aku
sudah tak melihat lagi
Masa
kecilku
Kerabatku,
Tetanggaku
Tak
ada lagi salam silaturahmi
Semua
menjadi asing aku, kau, kamu, dia
dan
entah siapa lagi, Duh Gusti !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar