Minggu, 16 Agustus 2015

Tugas Mata Kuliah Teori Sastra: Analisis Strata Norma Roman Ingarden oleh mahasiswa PBSI IKIP PGRI Madiun


ANALISIS PUISI DUH GUSTI
KARYA NUNING DAMAYANTI
BERDASARKAN STRATA NORMA ROMAN INGARDEN
Oleh
Jayanti Dwi Lestari
14311041

1.      Pendahuluan
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran teori sastra dan orang-orang yang bergulat dalam bidang sastra tentulah mereka tidak terlepas dari kata sastra. Kata sastra sendiri jika ditelaah memilki berbagai pengertian yang bermacam-macam. Para ahli ataupun sumber-sumber buku tertentu telah mendefinisikan sastra dengan pengertian dan pemahaman yang berbeda-beda. Dengan adanya perbedaaan tersebut dapat dikatakan sangatlah wajar karena pada hakikatnya setiap manusia pasti memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai suatu hal, termasuk bagaimana pengertian sastra mulai bermunculan pada setiap kalangan manusia sastra.
Sastra (Sansekerta/Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta, sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu (Redaksi Pustaka Makmur, 2012: 2).
Dan sejalan dengan pemikiran itu, sastra menurut Danziger dan Johnson (dalam Melani, Ida, Manneke, Ibnu 2003: 7) sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sedangkan, sastra menurut Daiches (dalam Melani, Ida, Manneke, Ibnu 2003: 7-8) mengacu pada Aristoteles memandang bahwa sastra sebagai suatu karya sastra yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.
Berdasarkan berbagai pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra ialah tulisan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memiliki arti atau keindahan tertentu untuk menyampaikan suatu karya sastra dengan cara memberikan kenikmatan unik dan pengetahuan serta memperkaya wawasan pembacanya.
Secara konvensional, sastra terdiri atas tiga genre, yakni puisi, prosa, dan drama. Puisi (poetry) merupakan ragam sastra yang terikat oleh unsur-unsurnya, seperti irama, rima, matra, baris, dan bait (Yusuf, 1995: 225, dalam Maman Suryaman dan Wiyatmi, 2012: 12). Prosa adalah sebuah teks atau karya rekaan yang tidak berbentuk dialog yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sederetan peristiwa (Melani, Ida, Manneke, Ibnu, 2003: 77). Sedangkan, drama merupakan sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau percakapan diantara tokoh-tokoh yang ada. Selain  didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh (Pollock, Sir John 1958, dalam Melani, Ida, Manneke, Ibnu, 2003: 95).
Jadi dapat dikatakan bahwasanya genre sastra terdiri dari tiga bagian, yaitu: puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah ragam sastra yang terikat oleh unsur-unsur, prosa adalah teks atau karya rekaan yang tidak berbentuk dialog yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sederetan peristiwa, dan drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan adanya percakapan diantara tokoh-tokoh yang ada dan memperlihatkan semacam pemanggungan yang juga menggambarkan tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang ada.
Berkaitan dengan permasalahan analisis puisi yang akan dibahas, maka dalam hal ini genre sastra yang akan dijadikan objek kajian analisis adalah puisi. Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Analisis yang bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (Wellek dan Warren, 1968:140 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14).
Untuk menganalisis puisi setepat-tepatnya perlulah diketahui apakah sesungguhnya (wujud) puisi itu. Dikemukakan oleh Wellek (1968:150 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14) bahwa puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Setiap pengalaman individual itu sebenarnya hanya sebagian saja dapat melaksanakan puisi. Karena itu, puisi (sajak) sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Pengertian norma ini menurut Wellek, Rene (1968:150-151 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14) jangan dikacaukan dengan norma-norma klasik, etika, maupun politik. Norma itu harus dipahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari setiap penagalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan.
Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Wellek, Rene (1968:151 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14) mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk   (1931) ia menganalisis norma-norma itu sebagai berikut.
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi, suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya kedua, yaitu lapis arti.
Lapis arti (units of meaning)  berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan.
Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi yang sesungguhnya menurut Wellek (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1993:14-15) dapat dimasukkan dalam lapis yang ketiga. Lapis tersebut sebagai berikut.
a.       Lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak dapat dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak. Misalnya pintu berbunyi halus dapat memberi sugesti wanita atau watak dalam si pembuka itu hati-hati. Keadaan suatu kamar yang terlihat dapat memberi sugesti watak orang yang tinggal didalamnya.
b.      Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis metafisis seperti itu.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam menganalisis puisi bukan hanya sekedar menganalisis secara dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi. Karena dengan mengunakan hal tersebut masih belum bisa memberikan gambaran yang nyata serta tidak memuaskan. Sehingga, diperlukan pula untuk mengetahui (wujud) puisi yang akan dianalisis. Namun, sejalan dengan hal itu dengan adanya puisi tentu akan memungkinkan timbulnya pengalaman. Dan pengalaman tersebut membawa diri untuk mengetahui struktur norma-norma dalam puisi untuk dipahami dengan pemaknaan tersendiri akan suatu karya sastra murni. Oleh karena itu dalam menganalisis puisi diperlukan teori analisis strata norma Roman Ingarden yang telah diuraikan diatas yakni, menganalisis dengan mencari pemaknaan melalui lapis bunyi, arti, dunia, dan metafisis.

2.      Strata Norma dalam Duh Gusti
Untuk lebih menjelaskan analisis strata norma tersebut maka dalam analisis puisi Duh Gusti karya Nuning Damayanti menggunakan analisis strata norma yang meliputi 4 lapis, yaitu lapis suara/bunyi, lapis arti (keseluruhan) dan lapis ketiga atau satuan arti perkata yang memiliki (objek, latar, dan dunia pengarang), lapis keempat atau lapis dunia, dan lapis kelima atau lapis metafisis. Didalam analisis puisi disertai pula sumber-sumber yang memperkuat penjelasan mengenai uraian dari pemaknaan puisi Duh Gusti berdasarkan analisis strata norma. Untuk lebih jelasnya berikut uraian rincian detail analisis strata norma dalam Duh Gusti.
a.    Lapis Suara/Bunyi
Dalam Duh Gusti bila dianalisis bunyinya pada bait pertama terdapat aliterasi bunyi konsonan n: tak ada lagi bengawan sumber kehidupan-semua jadi comberan. Pada bait kedua terdapat aliterasi n dan g: aku melihat padang yang kerontang-dan ilalang meng-arang. Pada bait ketiga terdapat asonansi u: membatu-membeku. Pada bait keempat terdapat asonansi u: masa kecilku-kerabatku-tetanggaku. Jika dianalisis maka bunyi asonansi dan aliterasi yang terdapat dalam puisi memiliki fungsi sebagai lambang rasa dan kereligiolitas.
Dimaksudkan demikian, karena jika ditelaah lebih lanjut Duh Gusti mengandung makna bahwasanya si aku mengeluarkan curahan hatinya dalam artian mengeluhkan dalam doa’nya serta perasaannya yang tengah terjadi perubahan-perubahan yang pada sekeliling kehidupan si aku. Perlu diketahui bahwa karya satra puisi Duh Gusti merupakan puisi yang bersastra religiolitas yakni, mengandung makna kereligiolitas. Dimana religiolitas lebih memperlihatkan aspek yang ada didalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi ... (Y. B. Mangunwijaya, 1998:12). Maka, kereligiolitasnya yang tampak dalam puisi Duh gusti terlihat pada penyebutan Duh Gusti yang seringkali diucap si aku yang dapat diartikan ungkapan rasa isi hati si aku yang dia haturkan terhadap Tuhan. Jadi, kesimpulannya fungsi dan makna puisi Duh Gusti sebagai lambang rasa religiolitas.
b.   Lapis Arti
Puisi Duh Gusti bila dianalisis dan ditinjau melalui lapis arti adalah sebagai berikut. Pada bait pertama: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan saat melihat lingkungan disekitar sungai airnya sudah keruh dan banyak ikan-ikan yang mati, sumber air yang tadinya dijadikan sumber kehidupan sudah kotor seperti air comberan.
Dalam bait kedua: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan saat melihat lahan atau tanah lapang yang sudah tidak ditumbuhi apa-apa dan rumput ilalang yang mati. Padahal sebelumnya lahan tersebut pernah ditumbuhi oleh rumput-rumput layaknya sabana (padang rumput yang luas). Namun, rumput-rumput itu kini tidak lagi tumbuh dilahan tersebut.
Dalam bait ketiga: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan saat melihat sawah yang mengering dan tanah dalam ladang yang mulai bongkah. Lalu, pematang sawah yang biasanya digunakan untuk berjalan dipinggiran sawah harus mengeras dan semuanya nampak seperti batu yang kasar dan tajam.
Dalam bait keempat: si aku mengeluh dan bercurhat didalam doa kepada Tuhan tentang dia telah kehilangan masa-masanya yang dulu saat dia masih kecil, merasa kehilangan saudaranya, tetangganya. Dan rasa persaudaraan antara si aku dengan semua orang yang telah disebutkan sebelumnya, semuanya itu seakan sirna dan asing bagi si aku.
Dari keseluruhan uraian pemaknaan arti dari puisi Duh Gusti diatas dapat disimpulkan bahwa pusi Duh Gusti menggambarkan tentang kereligiolitas. Selain, lebih memperlihatkan aspek yang ada didalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi yang tampak dalam sarana do’a akan curahan hatinya. Puisi tersebut juga menggambarkan adanya sedikit rasa keluhan akan kehidupan si aku yang sedang dihadapinya. Dia seolah-olah sendiri karena para saudaranya dan tetangganya tidak menampakkan adanya persaudaraan. Dan puisi yang mengandung religiolitas dapat menutun manusia ke arah segala makna yang baik (Y. B. Mangunwijaya, 1998:16). Dapat dikatakan menuntun manusia kearah yang lebih baik, karena seolah-olah si aku dalam puisi merasakan tidak adanya rasa persaudaraan dan secara implisit juga mengandung pesan akan pentingnya rasa persaudaraan. Jika tidak maka seseorang akan merasakan kesedihan, kesendirian seperti apa yang dirasakan oleh si aku dalam puisi Duh Gusti.

c.    Lapis Ketiga
Dalam Duh Gusti terdapat objek-objek yang dikemukakan seperti: sungai, tanah lapang, sawah, dan keadaan sosial lingkungan sekitar.
Pelaku atau tokohnya adalah: si aku (pengarang). Latar tempat yaitu: di keberadaan si aku sedang berdo’a kepada Tuhan/Duh Gusti.
Dari segi dunia pengarang, dapat dilihat bahwa si aku sedang berdo’a kepada Tuhan dikala dia melihat kondisi alam dan kondisi sosial pada lingkungannya telah mengalami perubahan.
Dari serangkaian penjelasan lapis ketiga mengenai lapis satuan arti dapat disimpulkan pelaku si aku menggunakan kondisi alam seperti sungai, tanah lapang, dan sawah serta kondisi lingkungannya sebagai objek yang diuraikan dalam puisinya, dimana si aku sedang berdo’a pada Tuhan yang mana objek-objek tersebut ia keluhkan telah mengalami perubahan-perubahan sehingga menimbulkan rasa kesedihan dan kesendirian si aku.
d.   Lapis Keempat
Dipandang dari sudut pandang tertentu keadaan lingkungan alam itu rusak serta lingkungan sosial yang kurang bersahabat, keadaaan lingkungan alam yang mengambarkan rusak kelihatan dari kata-kata: sungai yang tak lagi bening pada bait pertama, tak ada lagi sabana tempat merumput pada bait kedua, dan sawah yang mengering pada bait ketiga. Keadaan lingkungan sosial yang kurang bersahabat kelihatan dari kata-kata: tak ada lagi salam silaturahmi pada bait keempat. Pada keseluruhan bait menggambarkan suasana menyedihkan dan si aku berdo’a terhadap Tuhan dengan mengeluhkan keadaan saat ini lingkungan alam dan sosial telah mengalami perubahan yang menurun.
Dan keseluruhan bait menyatakan gambaran segalanya berjalan kearah penurunan. Tergambar dari kondisi alam dan sosial sekitar yang dialami si aku yang mengarah kearah jauh lebih buruk dibandingkan masa-masa ketika si aku masih kecil, masa-masa yang sudah tidak dilihat oleh si aku. Selain itu juga menggambarkan rasa kesendirian dimana si aku merasa asing karena rasa diwaktu masa kecilnya mulai hilang dimana persaudaraan antar saudara dan tetangganya yang mulai hilang.
Dari uraian lapis ketiga atau lapis dunia, dapat disimpulkan bahwa dalam puisi Duh Gusti menggambarkan suasana keadaan lingkungan alam yang rusak dan lingkungan sosial yang kurang bersahabat, suasana yang menyedihkan, segalanya berjalan kearah penurunan, dan menggambarkan rasa kesendirian yang dialami si aku.
e.    Lapis Kelima
Dalam sajak ini lapis itu berupa rasa menyedihkan bercampur sakral/suci kereligiolitas. Dengan sifat-sifat ini, seni disini menggugah rasa iba dan perubahan kearah lebih baik didalam diri pembaca. Keadaan terlihat melalui gambaran mengenai kesedihan dan keluhan si aku melalui do’a akan curahan hatinya. Dimana si aku merasa keadaan lingkungan yang semakin rusak, persaudaraan terhadap lingkungannya baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang berada disekelilingnya mulai hilang. Sehingga menimbulkan kesan bahwasanya rasa persaudaraan harus senantiasa dijaga antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan alamnya. Agar tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan pada lingkungan alam dan sosial kita.
Religiolitas disini dapat diuraikan kembali seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya kereligiolitas tampak dalam puisi yang mengandung religiolitas yakni, menutun manusia ke arah segala makna yang baik. Sehubungan dengan penjelasan diatas telah disinggung bahwasanya puisi Duh Gusti bisa mengarahkan kearah yang lebih baik. Sehingga dapat disimpulkan puisi Duh gusti masih membawa unsur religiolitas dalam pemaknaan metafisisnya. Dari serangkaian uraian mengenai analisa lapisan metafisis puisi Duh Gusti dapat disimpulkan Duh gusti mengandung unsur rasa menyedihkan bercampur sakral/suci kereligiolitas.

3.      Kesimpulan
Puisi Duh Gusti pada analisa lapis bunyi suara/bunyi telah memiliki asonansi dan aliterasi pada setiap baitnya serta memiliki fungsi dan makna puisi sebagai lambang rasa religiolitas. Pada lapis artinya menggambarkan tentang kereligiolitas (menuntun manusia kearah yang lebih baik) dan lapisan satuan pada dasarnya telah dijumpai objek berupa sungai, tanah lapang, sawah, dan keadaan sosial lingkungan sekitar, pelaku yaitu si aku atau pengarang, latar tempat yaitu: di keberadaan si aku sedang berdo’a kepada Tuhan/Duh Gusti dan dunia pengarang: si aku sedang berdo’a kepada Tuhan dikala dia melihat kondisi alam dan kondisi sosial pada lingkungannya telah mengalami perubahan. Hanya saja latar waktu dalam Duh Gusti tidak tergambar didalamnya. Kemudian, pada lapis dunianya telah menggambarkan suasana keadaan lingkungan alam yang rusak dan lingkungan sosial yang kurang bersahabat, suasana yang menyedihkan, segalanya berjalan kearah penurunan, dan menggambarkan rasa kesendirian yang dialami si aku. Dan pada lapis metafisisnya mengandung unsur rasa menyedihkan bercampur sakral/suci kereligiolitas.
Daftar Pustaka
Rachmat Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Y. B. Mangunwijaya. 1998. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
Melani Budianta, Ida Sundari Husen, Manneke Budiman, dan Ibnu Wahyudi. 2003. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
Maman Suryaman dan Wiyatmi. 2012. Puisi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Eriyanti Nurmala Dewi, dkk. 2003. Bunga Yang Berserak Antologi puisi dan cerita pendek 1989-2002. Bandung: Angkasa.
Redaksi Pustaka Makmur. 2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap. Depok: Pustaka Makmur.

Duh Gusti
Karya Nuning Damayanti

Duh Gusti
Aku melihat sungai yang tak lagi bening
dan ikan-ikan membiru
Tak ada lagi bengawan sumber kehidupan
Semua jadi comberan

Duh gusti
Aku melihat padang yang kerontang
dan ilalang meng-arang
Tak ada lagi sabana tempat merumput
Semua sudah jadi padang bebatuan

Duh gusti
Aku melihat sawah yang mengering
dan ladang yang membatu
Tak ada lagi pematang tempat menapak
Semua jadi beton-beton membeku

Aku sudah tak melihat lagi
Masa kecilku
Kerabatku,
Tetanggaku
Tak ada lagi salam silaturahmi
Semua menjadi asing aku, kau, kamu, dia
dan entah siapa lagi, Duh Gusti !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar