ANALISIS
MITE-LEGENDA
“PUNDEN
MBAH BRUK (BABAT ALAS DESA KLECOREJO)”
BERDASARKAN
TEORI STRUKTUR, MAKNA, DAN FUNGSI
Oleh
Jayanti
Dwi Lestari
14311041
1.
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Sastra adalah ekspresi
pikiran dan perasaan manusia, baik lisan maupun tulis (cetakan) dengan
menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya (Hutomo, 1997: 39, dalam Setya
Yuwana Sudikan, 2001: 2). Dari pernyataan Hutomo dapat dikatakanlah sastra
merupakan hasil ekspresi pikiran dan perasaan manusia yang bisa berupa lisan
atau tulis dan biasanya menggunakan bahasa atau kata-kata indah sesuai
konteksnya. Selain itu, dari pernyataan tersebut terungkaplah bahwa sastra
telah terbagi menjadi dua, yakni sastra lisan dan sastra tulis.
Berkaitan dengan analisis yang akan
dilakukan, maka sastra yang erat hubungannya dengan hal ini ialah sastra lisan.
Sastra lisan juga memiliki pengertian tersendiri. Menurut Hutomo (1991: 4,
dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 2) sastra lisan merupakan kesusastraan yang
mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan
diturunkan-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Oleh karena itu,
sastra lisan ada di masyarakat karena merupakan ekspresi kesusastraan warga
dalam suatu kebudayaan dan disebarluaskan secara turun temurun menggunakan
media mulut.
Sastra lisan juga memiliki hubungan
dengan Folklore, khususnya Folklore lisan. Sebagaimana diketahui Folklore ialah
bentuk jamak yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore, dalam bahasa
Indonesia menjadi foklor (Sukatman, 2009: 1). Menurut Dundes (dalam Sukatman
2009: 1) folk adalah sekelompok orang
yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan khusus, sehingga
dapat dibedakan dari kelompok lain atau kolektif (milik bersama, milik
masyarakat) yang memiliki tradisi dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Sedangkan lore menurut Dananjaya
(2002: 1-2, dalam Sukatman 2009: 2) ialah sebagian tradisi yang diwariskan
secara turun-temurun secara lisan. Dengan kata lain, lore merupakan kebudayaan
yang bersama-sama dengan lainnya yang dimiliki kolektif (milik bersama). Jadi
secara keseluruhan folklore adalah
sebagian kebudayaan milik bersama (kolektif) yang tersebar dan diwariskan
secara turun-temurun dalam bentuk lisan.
Folklore ini menurut Brunvand (dalam
M. Rafiek, 2010: 52-53) dibagi menjadi 3, yakni folklore lisan, folklore sebagian
lisan, dan folklore bukan lisan. Folklore lisan ialah folklore yang bentuknya
murni lisan. Bentuk-bentuk folklore lisan antara lain: bahasa rakyat, ungkapan
tradisional, puisi rakyat, cerita prosa rakyat. Folklore sebagian lisan ialah folklore
yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk Folklore
sebagian lisan seperti: permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat,
adat-istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain. Folklore bukan lisan ialah folklore
yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Yang termasuk folklore bukan lisan adalah arsitektur rakyat, bentuk lumbung
padi, rumah adat, kerajinan tangan, pakaian adat, perhiasan adat, makanan dan
minuman adat, serta obat-obatan tradisional.
Dapat diketahui lebih lanjut, bentuk
folklore lisan lebih mengacu kepada sestra lisan, maka sastra lisan merupakan
bagian dari folklore yaitu folklore lisan itu sendiri. Jika sudah mengetahui
hubungan antara sastra lisan dengan folklore, maka sesuatu yang tepat dan erat
hubungannya dengan sastra lisan adalah kesusastraan rakyat. Kesusastraan rakyat
adalah sastra yang lahir dari masyarakat atau rakyat yang diwariskan secara
turun-temurun baik lisan maupun tulisan. Kesusastraan rakyat atau sastra rakyat
merupakan sesuatu yang tepat dijadikan bahasan karena pada dasrnya sastra
lisan, folklore lisan, dan sastra rakyat secara tidak langsung memiliki satu
kesatuan utuh. Ketiganya memiliki proses kelisanan. Namun dalam hal analisis
ini lebih mengacu kepada Mite-Legenda.
Mite-Legenda
ialah macam dari kesusastraan rakyat. Mite-Legenda menurut Bascom (1965: 5,
dalam Sutarto, 1997: 15) gabungan dari mite dan legenda, telah disarankan pula
oleh Bascom menjadi kategori tunggal Mite-Legenda bila di lapangan terjadi
perbedaan kabur antara mite dan legenda, sehingga Mite-Legenda berbeda dengan
dongeng yang ceritanya berupa rekaan. Mite-Legenda merupakan sesuatu yang nyata
secara fakta dari dahulu hingga akhir sekarang ini. Keseluruhan pembahasan
telah mencapai puncak yakni Mite-Legenda, Mite-Legenda yang terpilih sebagai
objek kajian akan diuraikan lebih lanjut pada tahap selanjutnya.
B.
Objek
Kajian
Objek kajian
ialah sesuatu yang akan dijadikan bahan dalam analisis. Untuk itu dalam hal ini
Mite-Legenda yang akan dijadikan bahan analisis ialah sebuah punden di daerah
desa Klecorejo. Punden itu berupa makam. Makam tersebut konon katanya ialah
makamnya Mbah Bruk. Dan Mbah Bruk itu sendiri diketahui sebagai sosok yang
membabat alas di desa Klecorejo, sebelum desa Klecorejo itu ada. Dari
penjabaran itu dapat diketahui bahwa sebelum menjadi desa kemungkinan daerah
desa Klecorejo hanyalah sebuah alas yang lebat. Alas ialah sebutan bahasa Jawa
yang di dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hutan. Hutan yang penuh dengan
rerimbunan tanaman hingga lebat. Oleh karena itu, objek kajian dalam analisis
ini terfokus kepada Mite-Legenda seputar punden Mbah Bruk, Mbah Bruk sebagai
pembabat alas di desa Klecorejo.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang dan
objek kajian didapat rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa
struktur dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”?
2. Apa
makna Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”?
3. Apa
fungsi Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”?
D.
Teori
Analisis
Teori yang
digunakan dalam analisis ini menggunakan teori struktur, makna, dan fungsi. Teori
tersebut merupakan satu kesatuan yang terpisah. Pertama, struktur atau
struktural menurut Setya Yuwana Sudikan (2001: 23) ialah hubungan antara
unsur-unsur pembentuk dalam susunan keseluruhan. Maksudnya hubungan antara
unsur-unsur pembentuk tersebut ialah berupa hubungan dramatik, logika, maupun
waktu. Jadi didalam struktur terdapat satuan unsur-unsur pembentuk dan
susunannya. Unsur-unsur pembentuk itu merupakan satuan-satuan operasional yang
dapat digunakan untuk keperluan penggalian, pengurangan, pengikhtiaran, dan
lain-lain (Hutomo, dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 23). Para ahli dalam
menganalisis struktur menggunakan istilah yang berbeda untuk satuan-satuan
operasional tersebut. Dalam hal ini struktur yang digunakan untuk menganalisis
menggunakan teori struktural atau pendekatan objektif dari Ambrams. Analisis
struktural yang sesuai untuk mengalisis Mite-Legenda ini meliputi, tema, alur,
latar, penokohan, dan amanat.
Kedua, makna menurut
James P. Spradley (2007: 134) diciptakan dengan simbol-simbol. Simbol adalah
objek atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol
melibatkan tiga unsur, yakni simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan
hubungan antara simbol dengan rujukan. Simbol itu sendiri meliputi
simbol-simbol yang diciptakan informan. Satu rujukan atau lebih, mengacu pada
sesuatu rujukan yakni, benda yang menjadi rujukan simbol. Kemudian hubungan
antara simbol dan rujukan adalah penerima simbol menciptakan simbol dari
pemberi simbol yang memiliki rujukan. Dapat disimpulkan dari serangkaian makna
melalui simbol yaitu pertama simbol itu sendiri artinya pemaknaan informan
mengenai rujukan, kedua rujukan ialah sesuatu benda yang memiliki simbol,
kemudian yang ketiga pemaknaan dari penerima simbol itu sendiri. Dalam hal ini
makna, dilakukan secara bebas melalui satu informan utama, beberapa informan
pendukung, dan penyaji sendiri.
Ketiga, fungsi
menurut William R. Bascom (dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 109) dalam
folklore ada empat yakni, (a) sebagai sebuah bentuk hiburan, (b) sebagai alat
pengesahan, (c) sebagai alat pendidikan anak-anak, dan (d) sebagai alat pemaksa
dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
kolektifnya. Maka di dalam penggunaan teori ini Mite-Legenda dijabarkan
menggunakan keempat fungsi folklore. Sehingga akan ada pengaruhnya Mite-Legenda
hingga menimbulkan fungsi bagi masyarakat pemiliknya.
E.
Metode
Analisis
Metode yang
digunakan dalam melakukan analisis ini ialah menggunakan metode etnografi.
Metode etnografi adalah metode analisis menemukan makna budaya dengan batasan
sendiri atau suatu alat untuk menemukan makna budaya (James P. Spradley, 2007:
129). Sebagaimana diketahui metode ini menggunakan wawancara dalam
menganalisis. Jadi untuk menemukan makna budaya, maka dalam menelusuri seluk
beluk Mite-Legenda ini tentu akan dilakukan proses wawancara kepada informan.
Dari proses
metode etnografi didapatkan hasil cerita tentang Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk
(Babat Alas Desa Klecorejo)” ialah sebagai berikut.
Menurut
Mbah Karno (sebagai informan inti), warga desa setempat yang dianggap paling
tua umurnya, menceritakan bahwa,
Berpuluh-puluh tahun
yang lalu. Sebelum Desa Klecorejo ada, dahulu Desa Klecorejo terlihat lebat
penuh dengan pepohonan dan tumbuhan rimbun seperti hutan, Kemudian menurut
sejarah ceritanya, ada seseorang yang telah membersihkan hutan itu. Sebut saja
namanya Mbah Bruk. Tidak diketahui asalnya, dan tidak diketahui pula
keturuannya sekarang, kemudian juga di dalam sejarah tidak diketahui pula
berapa lama Mbah Bruk membersihkan hutan di Desa Klecorejo. Yang ada tinggallah
punden atau makam Mbah Bruk. Letak punden itu tepat di halaman masjid
nur-hidayah di bawah pohon tanjung.
Tempat pemakaman Mbah
Bruk pun berbeda tidak di tempat pemakaman umum. Hal itu terjadi tidak
diketahui sebabnya. Namun bila ada orang yang menyalahkan keberadaan pemakaman
itu, hidup seseorang itupun di Desa Klecorejo tidak akan lama. Ada hal yang
menarik dari punden Mbah Bruk yakni punden itu seringkali dijadikan tempat
pemujaan untuk meminta sesuatu oleh masyarakat Desa Klecorejo. Kemudian Mbah
Bruk terkenal sebagai sosok manusia yang sabar, sederhana, senantiasa menjaga Desa
Klecorejo agar tetap aman tentram dan hanya menginginkan menaikkan derajat
serta mengayomi kepada masyarakat penghuni Desa Klecorejo.
Mbah Bruk itu sederhana.
Bisa digambarkan melalui kegiatan bersih desa yakni ada kegiatan selametan, di
dekat punden atau pemakamannya Mbah Bruk. Mbah Bruk tidak meminta aneh-aneh
cukup sederhana dengan teri pethek, kulup krawu, jangan tempe, dan lombok Mbah
Bruk sudah mau menerima. Dan itu yang menjadi pembeda dengan punden lainnya
yang biasanya minta diberi persembahan ayam panggang, sedangkan Mbah Bruk
tidak, cukup dengan teri petek menjadi panggangnya Mbah Bruk.
Mbah Bruk itu hanya
ingin orang yang menghuni Desa Klecorejo ialah orang-orang yang sabar. Bila
yang menghuni ialah orang-orang nakal dan sombong baik laki-laki maupun
perempuan, maka Mbah Bruk akan murka sehingga orang itu tidak akan langgeng
atau awet hidupnya di Desa Klecorejo.
Kemudian, biasanya orang yang menginginkan jadi
tentara, sekolahnya lancar, dan sebagainya bila mau meminta di punden itu pasti
dikabulkan. Tetapi sekarang tidak banyak masyarakat Desa Klecorejo yang mau meminta di punden itu. Justru
orang-orang di luar Desa Klecorejo yang kerap meminta. Dan punden itu juga
sudah terkenal dimana-mana. Sehingga orang-orang di Desa Klecorejo pun terkenal
juga banyak yang menjadi pejabat karena danyangnya Mbah Bruk. Danyang ialah
Mbah Bruk yang membabat alas atau membersihkan alas/hutan di Desa Klecorejo.
Mbah Bruk memiliki
hewan peliharaan atau kesukaan yaitu asu. Ciri-ciri asu tersebut besar,
panjang, hitam, ekor melengkung ke atas. Asu itu setiap 35 hari sekali
mengelilingi Desa Klecorejo dengan tujuan melihat keadaan Desa Klecorejo,
sekaligus melihat keadaan masyarakat Desa Klecorejo juga. Namun perlu diketahui
keberadaan asu Mbah Bruk ini juga gaib.
Menurut sejarah pula,
nama Desa Klecorejo itu juga diberikan oleh Mbah Bruk di masa lampau. Untuk
menghormati dan menghargai Mbah Bruk pekuburan atau pemakaman yang jaman dahulu
hanya ada maesannya saja sekarang sudah dibangun menjadi lebih baik agar
terjaga. Dan juga setiap ada bersih desa setahun sekali masyarakat Desa
Klecorejo melakukan kegiatan selametan di punden tersebut.
Cerita Mite-Legenda
di atas berasal dari hasil wawancara dengan bentuk perubahan dan pengaturan
kosakata, yang semula menggunakan bahasa Jawa ngoko kemudian diubah ke dalam
bahasa Indonesia dan diurutkan ceritanya oleh penyaji. Dari hasil tersebut
penyaji mencari informan pendukung di dalam pemaknaan cerita tersebut. Sehingga
lebih mempermudah didalam penguatan makna cerita itu. Berikut hasil yang di
dapat.
a.
Menurut Bapak Diman (seorang petani
desa), “ Danyangnya Mbah Bruk itu yang mbaurekso di punden Mbah Bruk”.
b.
Menurut Ibu Yessi Eka Wardani (seorang
guru sekolah dasar), “Danyang atau suwargine Mbah Bruk itu makhluk halus/roh
yang menjelma di punden”.
Serangkaian
hasil yang didapat ialah yang telah dijabarkan di atas melalui metode etnografi
atau wawancara. Untuk mengetahui lebih lanjut dan mendalam mengenai Mite-Legenda
“Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo) dapat dianalisis menggunakan struktur,
makna, dan fungsi pada bab pembahasan.
2.
Pembahasan
A.
Struktur
dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”
1. Tema
Tema
dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” ialah
pahlawan mistis. Tema itu dapat dibuktikan bahwa ada seorang mbah. Sebutan
untuk orang yang sudah tua. Mbah itu ialah pahlawan, pahlawan dalam membabat
Desa Klecorejo sebelum Desa Klecorejo ada. Namun, tampak mistis ketika
keberadaanya begitu sangat berarti bagi masyarakat desa Klecorejo meskipun
hanya tinggal punden atau makamnya saja. Dan punden itu pun diyakini
keberadaannya telah menjaga desa Klecorejo tetap aman dan tentram dengan adanya
danyang atau suwargine Mbah Bruk.
2. Penokohan
Tokoh
dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” adalah Mbah
Bruk. Watak Mbah Bruk adalah sabar dan sederhana. Tergambar dari pernyataan
informan inti bahwa Mbah Bruk sederhana yakni tidak menginginkan aneh-aneh
dalam persembahan slametan di pundennya. Cukup dengan teri pethek. Kemudian,
Mbah Bruk sabar tergambar dari beliau membersihkan hutan yang begitu lebat
sebelum Desa Klecorejo ada.
3. Alur
Alur
dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” adalah alur
maju mundur. Bisa demikian karena informan inti menceritakannya tidak secara
runtut, sebab menggunakan flashback atau mengingat-ingat. Sehingga alurnya maju
mundur.
4. Latar
Latar
dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” berada di
alas atau hutan dan Desa Klecorejo. Tergambar jelas Mbah Bruk membabati alas.
Kedua, Desa Klecorejo karena memang punden Mbah Bruk di Desa Klecorejo.
5. Amanat
Amanat
dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” ialah Jangan
berperilaku buruk! dan Jadilah orang yang sabar dan sederhana!. Amanat itu
menyatakan dan mengingatkan bahwa Mbah Bruk menyukai orang yang sabar dan orang
yang berperilaku buruk seperti sombong dan nakal dikatakan tidak akan lama
hidup di Desa Klecorejo, maka pesannya Jangan berperilaku buruk!.
Kemudian
tokoh Mbah Bruk yang sabar dan sederhana bisa dijadikan cerminan untuk selalu
berperilaku demikian. Jadilah orang yang sabar dan sederhana.
B.
Makna
Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”
Berdasarkan data
informan inti dan informan pendukung yang akan dibahas ialah pemaknaan tentang
danyange Mbah Bruk. Menurut informan inti, Mbah Karno mengatakan bahwa danyange
Mbah Bruk adalah orang yang membabat desa atau alas di Desa Klecorejo, namanya
danyang. Sedangkan menurut Bapak Diman, danyang ialah mbaurekso di punden Mbah
Bruk. Dan selain itu Ibu Yessi Eka Wardani juga menyatakan bahwa danyang adalah
makhlus halus. Ketiga perbedaan pendapat ini menimbulkan kebenaran ada dan
tidaknya tokoh Mbah Bruk.
Namun,
sebagaimana diketahui danyang adalah roh halus tertinggi yang tinggal di pohon,
gunung, sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit. Danyang dipercaya (oleh
masyarakat Jawa khususnya) menetap pada suatu tempat yang disebut punden. Para
danyang diyakini menerima permohonan orang yang meminta pertolongan. Imbalan
yang mesti diberikan kepada danyang adalah selametan. Danyang merupakan (roh
halus) yang tidak mengganggu ataupun menyakiti, melainkan melindungi. Danyang
sebenarnya roh para tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal.
Para leluhur ini adalah pendiri sebuah desa atau orang pertama kali yang
membuka lahan suatu desa (id.m.wikipedia.org/wiki/Danyang).
Dari keseluruhan
pernyataan berbagai sumber yang ada, maka danyang dapat dimaknai sebagai roh
halus para leluhur yang menetap di punden dan diyakini sebagai orang pertama
kali yang membuka lahan suatu desa dan diyakini melindungi desa tersebut. Oleh
karena itu, Mbah Bruk ialah tokoh leluhur jaman dahulu sebagai pembuka lahan
Desa Klecorejo yang telah meninggal dan dimakamkan secara khusus. Kemudian
makam itu disebut punden. Dan roh halus leluhur masih berada di punden.
Sehingga roh diyakini masih ada dan menjaga Desa Klecorejo.
C.
Fungsi
Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” bagi masyarakat
pemiliknya
Fungsi Mite-Legenda
“Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” adalah sebagai berikut.
1. Fungsi
Hiburan
Fungsi
hiburan mungkin lebih mengacu kepada tradisi bersih desa yang melakukan
kegiatan selametan. Fungsi hiburan ada dalam trasisi slametan ini, karena
biasanya orang-orang berbondong-bondong penuh dengan rasa bahagia dari yang
muda hingga yang tua menuju ke punden untuk melakukan selametan. Selametan
ialah tradisi mendoakan leluhur dan membawa makanan masing-masing orang. Lalu
pulang mereka membawa makanan lagi tetapi bukan makanan yang dia bawa semula.
2. Fungsi
Pendidikan
Fungsi
pendidikan bisa digunakan sebagai objek kajian sastra lisan dalam dunia
pendidikan, dapat melestarikan sejarah sastra lisan yang ada di Desa Klecorejo
yang semula belum diketahui.
3. Fungsi
Pemaksa dan Pengawas Norma-Norma Masyarakat Agar Selalu Dipatuhi Anggota Kolektifnya
Fungsi
tersebut sudah harus difungsikan, sehingga masyarakat tidak melakukan
penyelewengan dalam berperilaku. Sebagaimana dijelaskan oleh informan inti
bahwa Mbah Bruk tidak suka orang yang sombong dan nakal atau berperilaku buruk,
maka sebagai masyarakat sudah selayaknya berperilaku baik menaati norma yang
berlaku. Norma adat khususnya.
3.
Penutup
Simpulan
Struktur dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat
Alas Desa Klecorejo)” menggunakan teori struktural. Teori struktural ialah
unsur pembangun dari sastra tersebut. Dapat ditinjau dari tema, penokohan,
alur, latar, dan amanat. Temanya tentang pahlawan mistis. Penokohannya Mbah
Bruk dengan kesabaran dan kesederhanaan. Alurnya maju mundur. Latarnya di hutan
dan Desa Klecorejo. Amanatnya janganlah berperilaku buruk dan jadilah orang
yang sabar dan sederhana.
Makna Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas
Desa Klecorejo)” mengacu pada kata danyang. Danyang ialah Mbah Bruk, tokoh
leluhur jaman dahulu sebagai pembuka lahan Desa Klecorejo yang telah meninggal
dan dimakamkan secara khusus. Kemudian makam itu disebut punden. Dan roh halus
leluhur masih berada di punden. Sehingga roh diyakini masih ada dan menjaga
Desa Klecorejo.
Fungsi Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas
Desa Klecorejo)” bagi masyarakat pemiliknya sebagai fungsi hiburan, fungsi
pendidikan, dan fungsi pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu
dipatuhi anggota kolektifnya.
Daftar
Pustaka
James
P. Spradley. 2007. Metode Etnografi.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
M.
Rafiek. 2010. Teori Sastra “Kajian Teori
dan Praktik”. Bandung: Refika Aditama.
Setya
Yuwana Sudikan. 2001. Metode Penelitian
Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sukatman.
2009. Pengantar Teori dan Pembelajarannya.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Sutarto.
1997. Legenda Kasada Dan Karo Orang
Tengger Lumajang. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar