Minggu, 16 Agustus 2015

Tugas Mata Kuliah Sastra Lama: Analisis Mite-Legenda menggunakan Teori Struktur, Makna, dan Fungsi oleh mahasiswa PBSI IKIP PGRI Madiun


ANALISIS MITE-LEGENDA
“PUNDEN MBAH BRUK (BABAT ALAS DESA KLECOREJO)”
BERDASARKAN TEORI STRUKTUR, MAKNA, DAN FUNGSI
Oleh
Jayanti Dwi Lestari
14311041

1.        Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Sastra adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik lisan maupun tulis (cetakan) dengan menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya (Hutomo, 1997: 39, dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 2). Dari pernyataan Hutomo dapat dikatakanlah sastra merupakan hasil ekspresi pikiran dan perasaan manusia yang bisa berupa lisan atau tulis dan biasanya menggunakan bahasa atau kata-kata indah sesuai konteksnya. Selain itu, dari pernyataan tersebut terungkaplah bahwa sastra telah terbagi menjadi dua, yakni sastra lisan dan sastra tulis.
            Berkaitan dengan analisis yang akan dilakukan, maka sastra yang erat hubungannya dengan hal ini ialah sastra lisan. Sastra lisan juga memiliki pengertian tersendiri. Menurut Hutomo (1991: 4, dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 2) sastra lisan merupakan kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Oleh karena itu, sastra lisan ada di masyarakat karena merupakan ekspresi kesusastraan warga dalam suatu kebudayaan dan disebarluaskan secara turun temurun menggunakan media mulut.
            Sastra lisan juga memiliki hubungan dengan Folklore, khususnya Folklore lisan. Sebagaimana diketahui Folklore ialah bentuk jamak yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore, dalam bahasa Indonesia menjadi foklor (Sukatman, 2009: 1). Menurut Dundes (dalam Sukatman 2009: 1) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan khusus, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lain atau kolektif (milik bersama, milik masyarakat) yang memiliki tradisi dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sedangkan lore menurut Dananjaya (2002: 1-2, dalam Sukatman 2009: 2) ialah sebagian tradisi yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Dengan kata lain, lore merupakan kebudayaan yang bersama-sama dengan lainnya yang dimiliki kolektif (milik bersama). Jadi secara keseluruhan folklore adalah sebagian kebudayaan milik bersama (kolektif) yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan.
            Folklore ini menurut Brunvand (dalam M. Rafiek, 2010: 52-53) dibagi menjadi 3, yakni folklore lisan, folklore sebagian lisan, dan folklore bukan lisan. Folklore lisan ialah folklore yang bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk folklore lisan antara lain: bahasa rakyat, ungkapan tradisional, puisi rakyat, cerita prosa rakyat. Folklore sebagian lisan ialah folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk Folklore sebagian lisan seperti: permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain. Folklore bukan lisan ialah folklore yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Yang termasuk folklore bukan lisan adalah arsitektur rakyat, bentuk lumbung padi, rumah adat, kerajinan tangan, pakaian adat, perhiasan adat, makanan dan minuman adat, serta obat-obatan tradisional.
            Dapat diketahui lebih lanjut, bentuk folklore lisan lebih mengacu kepada sestra lisan, maka sastra lisan merupakan bagian dari folklore yaitu folklore lisan itu sendiri. Jika sudah mengetahui hubungan antara sastra lisan dengan folklore, maka sesuatu yang tepat dan erat hubungannya dengan sastra lisan adalah kesusastraan rakyat. Kesusastraan rakyat adalah sastra yang lahir dari masyarakat atau rakyat yang diwariskan secara turun-temurun baik lisan maupun tulisan. Kesusastraan rakyat atau sastra rakyat merupakan sesuatu yang tepat dijadikan bahasan karena pada dasrnya sastra lisan, folklore lisan, dan sastra rakyat secara tidak langsung memiliki satu kesatuan utuh. Ketiganya memiliki proses kelisanan. Namun dalam hal analisis ini lebih mengacu kepada Mite-Legenda.
Mite-Legenda ialah macam dari kesusastraan rakyat. Mite-Legenda menurut Bascom (1965: 5, dalam Sutarto, 1997: 15) gabungan dari mite dan legenda, telah disarankan pula oleh Bascom menjadi kategori tunggal Mite-Legenda bila di lapangan terjadi perbedaan kabur antara mite dan legenda, sehingga Mite-Legenda berbeda dengan dongeng yang ceritanya berupa rekaan. Mite-Legenda merupakan sesuatu yang nyata secara fakta dari dahulu hingga akhir sekarang ini. Keseluruhan pembahasan telah mencapai puncak yakni Mite-Legenda, Mite-Legenda yang terpilih sebagai objek kajian akan diuraikan lebih lanjut pada tahap selanjutnya.
B.     Objek Kajian
Objek kajian ialah sesuatu yang akan dijadikan bahan dalam analisis. Untuk itu dalam hal ini Mite-Legenda yang akan dijadikan bahan analisis ialah sebuah punden di daerah desa Klecorejo. Punden itu berupa makam. Makam tersebut konon katanya ialah makamnya Mbah Bruk. Dan Mbah Bruk itu sendiri diketahui sebagai sosok yang membabat alas di desa Klecorejo, sebelum desa Klecorejo itu ada. Dari penjabaran itu dapat diketahui bahwa sebelum menjadi desa kemungkinan daerah desa Klecorejo hanyalah sebuah alas yang lebat. Alas ialah sebutan bahasa Jawa yang di dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hutan. Hutan yang penuh dengan rerimbunan tanaman hingga lebat. Oleh karena itu, objek kajian dalam analisis ini terfokus kepada Mite-Legenda seputar punden Mbah Bruk, Mbah Bruk sebagai pembabat alas di desa Klecorejo.
C.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan objek kajian didapat rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Apa struktur dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”?
2.      Apa makna Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”?
3.      Apa fungsi Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”?
D.    Teori Analisis
Teori yang digunakan dalam analisis ini menggunakan teori struktur, makna, dan fungsi. Teori tersebut merupakan satu kesatuan yang terpisah. Pertama, struktur atau struktural menurut Setya Yuwana Sudikan (2001: 23) ialah hubungan antara unsur-unsur pembentuk dalam susunan keseluruhan. Maksudnya hubungan antara unsur-unsur pembentuk tersebut ialah berupa hubungan dramatik, logika, maupun waktu. Jadi didalam struktur terdapat satuan unsur-unsur pembentuk dan susunannya. Unsur-unsur pembentuk itu merupakan satuan-satuan operasional yang dapat digunakan untuk keperluan penggalian, pengurangan, pengikhtiaran, dan lain-lain (Hutomo, dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 23). Para ahli dalam menganalisis struktur menggunakan istilah yang berbeda untuk satuan-satuan operasional tersebut. Dalam hal ini struktur yang digunakan untuk menganalisis menggunakan teori struktural atau pendekatan objektif dari Ambrams. Analisis struktural yang sesuai untuk mengalisis Mite-Legenda ini meliputi, tema, alur, latar, penokohan, dan amanat.
Kedua, makna menurut James P. Spradley (2007: 134) diciptakan dengan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur, yakni simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Simbol itu sendiri meliputi simbol-simbol yang diciptakan informan. Satu rujukan atau lebih, mengacu pada sesuatu rujukan yakni, benda yang menjadi rujukan simbol. Kemudian hubungan antara simbol dan rujukan adalah penerima simbol menciptakan simbol dari pemberi simbol yang memiliki rujukan. Dapat disimpulkan dari serangkaian makna melalui simbol yaitu pertama simbol itu sendiri artinya pemaknaan informan mengenai rujukan, kedua rujukan ialah sesuatu benda yang memiliki simbol, kemudian yang ketiga pemaknaan dari penerima simbol itu sendiri. Dalam hal ini makna, dilakukan secara bebas melalui satu informan utama, beberapa informan pendukung, dan penyaji sendiri.
Ketiga, fungsi menurut William R. Bascom (dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 109) dalam folklore ada empat yakni, (a) sebagai sebuah bentuk hiburan, (b) sebagai alat pengesahan, (c) sebagai alat pendidikan anak-anak, dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Maka di dalam penggunaan teori ini Mite-Legenda dijabarkan menggunakan keempat fungsi folklore. Sehingga akan ada pengaruhnya Mite-Legenda hingga menimbulkan fungsi bagi masyarakat pemiliknya.
E.     Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis ini ialah menggunakan metode etnografi. Metode etnografi adalah metode analisis menemukan makna budaya dengan batasan sendiri atau suatu alat untuk menemukan makna budaya (James P. Spradley, 2007: 129). Sebagaimana diketahui metode ini menggunakan wawancara dalam menganalisis. Jadi untuk menemukan makna budaya, maka dalam menelusuri seluk beluk Mite-Legenda ini tentu akan dilakukan proses wawancara kepada informan.
Dari proses metode etnografi didapatkan hasil cerita tentang Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” ialah sebagai berikut.
Menurut Mbah Karno (sebagai informan inti), warga desa setempat yang dianggap paling tua umurnya, menceritakan bahwa,
Berpuluh-puluh tahun yang lalu. Sebelum Desa Klecorejo ada, dahulu Desa Klecorejo terlihat lebat penuh dengan pepohonan dan tumbuhan rimbun seperti hutan, Kemudian menurut sejarah ceritanya, ada seseorang yang telah membersihkan hutan itu. Sebut saja namanya Mbah Bruk. Tidak diketahui asalnya, dan tidak diketahui pula keturuannya sekarang, kemudian juga di dalam sejarah tidak diketahui pula berapa lama Mbah Bruk membersihkan hutan di Desa Klecorejo. Yang ada tinggallah punden atau makam Mbah Bruk. Letak punden itu tepat di halaman masjid nur-hidayah di bawah pohon tanjung.
Tempat pemakaman Mbah Bruk pun berbeda tidak di tempat pemakaman umum. Hal itu terjadi tidak diketahui sebabnya. Namun bila ada orang yang menyalahkan keberadaan pemakaman itu, hidup seseorang itupun di Desa Klecorejo tidak akan lama. Ada hal yang menarik dari punden Mbah Bruk yakni punden itu seringkali dijadikan tempat pemujaan untuk meminta sesuatu oleh masyarakat Desa Klecorejo. Kemudian Mbah Bruk terkenal sebagai sosok manusia yang sabar, sederhana, senantiasa menjaga Desa Klecorejo agar tetap aman tentram dan hanya menginginkan menaikkan derajat serta mengayomi kepada masyarakat penghuni Desa Klecorejo.
Mbah Bruk itu sederhana. Bisa digambarkan melalui kegiatan bersih desa yakni ada kegiatan selametan, di dekat punden atau pemakamannya Mbah Bruk. Mbah Bruk tidak meminta aneh-aneh cukup sederhana dengan teri pethek, kulup krawu, jangan tempe, dan lombok Mbah Bruk sudah mau menerima. Dan itu yang menjadi pembeda dengan punden lainnya yang biasanya minta diberi persembahan ayam panggang, sedangkan Mbah Bruk tidak, cukup dengan teri petek menjadi panggangnya Mbah Bruk.
Mbah Bruk itu hanya ingin orang yang menghuni Desa Klecorejo ialah orang-orang yang sabar. Bila yang menghuni ialah orang-orang nakal dan sombong baik laki-laki maupun perempuan, maka Mbah Bruk akan murka sehingga orang itu tidak akan langgeng atau awet hidupnya di Desa Klecorejo.
Kemudian, biasanya orang yang menginginkan jadi tentara, sekolahnya lancar, dan sebagainya bila mau meminta di punden itu pasti dikabulkan. Tetapi sekarang tidak banyak masyarakat Desa Klecorejo  yang mau meminta di punden itu. Justru orang-orang di luar Desa Klecorejo yang kerap meminta. Dan punden itu juga sudah terkenal dimana-mana. Sehingga orang-orang di Desa Klecorejo pun terkenal juga banyak yang menjadi pejabat karena danyangnya Mbah Bruk. Danyang ialah Mbah Bruk yang membabat alas atau membersihkan alas/hutan di Desa Klecorejo.
Mbah Bruk memiliki hewan peliharaan atau kesukaan yaitu asu. Ciri-ciri asu tersebut besar, panjang, hitam, ekor melengkung ke atas. Asu itu setiap 35 hari sekali mengelilingi Desa Klecorejo dengan tujuan melihat keadaan Desa Klecorejo, sekaligus melihat keadaan masyarakat Desa Klecorejo juga. Namun perlu diketahui keberadaan asu Mbah Bruk ini juga gaib.
Menurut sejarah pula, nama Desa Klecorejo itu juga diberikan oleh Mbah Bruk di masa lampau. Untuk menghormati dan menghargai Mbah Bruk pekuburan atau pemakaman yang jaman dahulu hanya ada maesannya saja sekarang sudah dibangun menjadi lebih baik agar terjaga. Dan juga setiap ada bersih desa setahun sekali masyarakat Desa Klecorejo melakukan kegiatan selametan di punden tersebut.

Cerita Mite-Legenda di atas berasal dari hasil wawancara dengan bentuk perubahan dan pengaturan kosakata, yang semula menggunakan bahasa Jawa ngoko kemudian diubah ke dalam bahasa Indonesia dan diurutkan ceritanya oleh penyaji. Dari hasil tersebut penyaji mencari informan pendukung di dalam pemaknaan cerita tersebut. Sehingga lebih mempermudah didalam penguatan makna cerita itu. Berikut hasil yang di dapat.
a.         Menurut Bapak Diman (seorang petani desa), “ Danyangnya Mbah Bruk itu yang mbaurekso di punden Mbah Bruk”.
b.        Menurut Ibu Yessi Eka Wardani (seorang guru sekolah dasar), “Danyang atau suwargine Mbah Bruk itu makhluk halus/roh yang menjelma di punden”.
Serangkaian hasil yang didapat ialah yang telah dijabarkan di atas melalui metode etnografi atau wawancara. Untuk mengetahui lebih lanjut dan mendalam mengenai Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo) dapat dianalisis menggunakan struktur, makna, dan fungsi pada bab pembahasan.

2.        Pembahasan
A.    Struktur dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”
1.      Tema
Tema dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” ialah pahlawan mistis. Tema itu dapat dibuktikan bahwa ada seorang mbah. Sebutan untuk orang yang sudah tua. Mbah itu ialah pahlawan, pahlawan dalam membabat Desa Klecorejo sebelum Desa Klecorejo ada. Namun, tampak mistis ketika keberadaanya begitu sangat berarti bagi masyarakat desa Klecorejo meskipun hanya tinggal punden atau makamnya saja. Dan punden itu pun diyakini keberadaannya telah menjaga desa Klecorejo tetap aman dan tentram dengan adanya danyang atau suwargine Mbah Bruk.
2.      Penokohan
Tokoh dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” adalah Mbah Bruk. Watak Mbah Bruk adalah sabar dan sederhana. Tergambar dari pernyataan informan inti bahwa Mbah Bruk sederhana yakni tidak menginginkan aneh-aneh dalam persembahan slametan di pundennya. Cukup dengan teri pethek. Kemudian, Mbah Bruk sabar tergambar dari beliau membersihkan hutan yang begitu lebat sebelum Desa Klecorejo ada.
3.      Alur
Alur dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” adalah alur maju mundur. Bisa demikian karena informan inti menceritakannya tidak secara runtut, sebab menggunakan flashback atau mengingat-ingat. Sehingga alurnya maju mundur.
4.      Latar
Latar dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” berada di alas atau hutan dan Desa Klecorejo. Tergambar jelas Mbah Bruk membabati alas. Kedua, Desa Klecorejo karena memang punden Mbah Bruk di Desa Klecorejo.
5.      Amanat
Amanat dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” ialah Jangan berperilaku buruk! dan Jadilah orang yang sabar dan sederhana!. Amanat itu menyatakan dan mengingatkan bahwa Mbah Bruk menyukai orang yang sabar dan orang yang berperilaku buruk seperti sombong dan nakal dikatakan tidak akan lama hidup di Desa Klecorejo, maka pesannya Jangan berperilaku buruk!.
Kemudian tokoh Mbah Bruk yang sabar dan sederhana bisa dijadikan cerminan untuk selalu berperilaku demikian. Jadilah orang yang sabar dan sederhana.
B.     Makna Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)”
Berdasarkan data informan inti dan informan pendukung yang akan dibahas ialah pemaknaan tentang danyange Mbah Bruk. Menurut informan inti, Mbah Karno mengatakan bahwa danyange Mbah Bruk adalah orang yang membabat desa atau alas di Desa Klecorejo, namanya danyang. Sedangkan menurut Bapak Diman, danyang ialah mbaurekso di punden Mbah Bruk. Dan selain itu Ibu Yessi Eka Wardani juga menyatakan bahwa danyang adalah makhlus halus. Ketiga perbedaan pendapat ini menimbulkan kebenaran ada dan tidaknya tokoh Mbah Bruk.
Namun, sebagaimana diketahui danyang adalah roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, gunung, sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit. Danyang dipercaya (oleh masyarakat Jawa khususnya) menetap pada suatu tempat yang disebut punden. Para danyang diyakini menerima permohonan orang yang meminta pertolongan. Imbalan yang mesti diberikan kepada danyang adalah selametan. Danyang merupakan (roh halus) yang tidak mengganggu ataupun menyakiti, melainkan melindungi. Danyang sebenarnya roh para tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal. Para leluhur ini adalah pendiri sebuah desa atau orang pertama kali yang membuka lahan suatu desa (id.m.wikipedia.org/wiki/Danyang).
Dari keseluruhan pernyataan berbagai sumber yang ada, maka danyang dapat dimaknai sebagai roh halus para leluhur yang menetap di punden dan diyakini sebagai orang pertama kali yang membuka lahan suatu desa dan diyakini melindungi desa tersebut. Oleh karena itu, Mbah Bruk ialah tokoh leluhur jaman dahulu sebagai pembuka lahan Desa Klecorejo yang telah meninggal dan dimakamkan secara khusus. Kemudian makam itu disebut punden. Dan roh halus leluhur masih berada di punden. Sehingga roh diyakini masih ada dan menjaga Desa Klecorejo.
C.    Fungsi Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” bagi masyarakat pemiliknya
Fungsi Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” adalah sebagai berikut.
1.      Fungsi Hiburan
Fungsi hiburan mungkin lebih mengacu kepada tradisi bersih desa yang melakukan kegiatan selametan. Fungsi hiburan ada dalam trasisi slametan ini, karena biasanya orang-orang berbondong-bondong penuh dengan rasa bahagia dari yang muda hingga yang tua menuju ke punden untuk melakukan selametan. Selametan ialah tradisi mendoakan leluhur dan membawa makanan masing-masing orang. Lalu pulang mereka membawa makanan lagi tetapi bukan makanan yang dia bawa semula.
2.      Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan bisa digunakan sebagai objek kajian sastra lisan dalam dunia pendidikan, dapat melestarikan sejarah sastra lisan yang ada di Desa Klecorejo yang semula belum diketahui.
3.      Fungsi Pemaksa dan Pengawas Norma-Norma Masyarakat Agar Selalu Dipatuhi Anggota Kolektifnya
Fungsi tersebut sudah harus difungsikan, sehingga masyarakat tidak melakukan penyelewengan dalam berperilaku. Sebagaimana dijelaskan oleh informan inti bahwa Mbah Bruk tidak suka orang yang sombong dan nakal atau berperilaku buruk, maka sebagai masyarakat sudah selayaknya berperilaku baik menaati norma yang berlaku. Norma adat khususnya.
3.        Penutup
Simpulan
Struktur dalam Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” menggunakan teori struktural. Teori struktural ialah unsur pembangun dari sastra tersebut. Dapat ditinjau dari tema, penokohan, alur, latar, dan amanat. Temanya tentang pahlawan mistis. Penokohannya Mbah Bruk dengan kesabaran dan kesederhanaan. Alurnya maju mundur. Latarnya di hutan dan Desa Klecorejo. Amanatnya janganlah berperilaku buruk dan jadilah orang yang sabar dan sederhana.
Makna Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” mengacu pada kata danyang. Danyang ialah Mbah Bruk, tokoh leluhur jaman dahulu sebagai pembuka lahan Desa Klecorejo yang telah meninggal dan dimakamkan secara khusus. Kemudian makam itu disebut punden. Dan roh halus leluhur masih berada di punden. Sehingga roh diyakini masih ada dan menjaga Desa Klecorejo.
Fungsi Mite-Legenda “Punden Mbah Bruk (Babat Alas Desa Klecorejo)” bagi masyarakat pemiliknya sebagai fungsi hiburan, fungsi pendidikan, dan fungsi pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Daftar Pustaka
James P. Spradley. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
M. Rafiek. 2010. Teori Sastra “Kajian Teori dan Praktik”. Bandung: Refika Aditama.
Setya Yuwana Sudikan. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sukatman. 2009. Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Sutarto. 1997. Legenda Kasada Dan Karo Orang Tengger Lumajang. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar